mega projek madinah

Sekilas Pandangan Imam Syafi’i

Membandingkan Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan kecerdasannya serta kemampuannya mengembangkan fiqh iftirady atau fiqih pengandaian, maka Imam Syafi’i lebih dikenal memiliki nalar fiqih dinamis yang terus berkembang.

Mungkin yang ikut membentuk karakter itu adalah episode hidup Imam Syafi’i yang gemar mengembara. Tidak kurang sejumlah kota pernah dilawatinya, seperti Madinah, Irak, Persia, Hirah, dan Ramallah Palestina, Yaman, Baghdad, dan Mesir.

Seorang ahli fiqih yang memiliki kedalaman pengetahuan tentang hukum-hukum Islam, sejatinya adalah seseorang yang mampu memberdayakan Hadits dan ra’yun secara berimbang.

Modal dasar bagi seorang yang pakar dalam hukum Islam adalah penguasaan al Qur’an-Hadits dan optimalisasi analisis intelektualnya. Imam Syafi’i seorang yang dinilai memiliki kombinasi kedua modal itu secara nyaris sempurna.

Penjelajahan dan pengembaraan intelektual yang ditapakinya kian mengasah keterampilannya dalam mengoptimalkan nalarnya, terbiasa berdiskusi, menarik kesimpulan dengan tangkas, dan berdebat dengan elegan.

Selain, pada waktu yang bersamaan, ia adalah seorang pakar dalam bidang Hadits. Gelar yang diterimanya dari
masyarakat Mekkah dan yang kemudian juga ditegaskan oleh publik Irak sebagai sang Penopang Hadits atau Penolong Sunnah ( nashir as-Sunnah), cukup menunjuk-kan kapasitasnya di bidang ini.

Dengan demikian, Imam Syafi‘i adalah sosok yang sanggup memadukan corak murni, namun terkesan kaku yang dimiliki ahli Hadits, dan ciri luwes dan cair, namun terkesan tidak memiliki ketegasan sikap yang dipunyai ahli rajiun.

Ia adalah jembatan yang menghubungkan kedua kutub yang berseberangan tersebut. Pada posisi itulah Syafi’i berada, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ahmad bin Hanbal, “Kami masih melaknat ahli ra’yundan mereka juga balik melaknati kami.

Lalu, datanglah Syaii‘i yang mempersatukan kami semua.” Tidak berlebihan jika ditautkannya nama Syafi’i dengan ilmu ushul fiqih adalah seperti dilekatkannya nama Aristoteles dengan ilmu logika, atau al-Khalil bin Ahmad dengan ilmu ‘arudh.

Baca juga:


Comments

Leave a Reply